Harga Bongkahan Batu Badar Emas Timika

Asosiasi Great Stone Nusantara (GSN)
menggelar pameran batu akik di Taman Mini
Indonesia Indah. Puluhan pedagang dari penjuru
Indonesia berdatangan untuk memamerkan
batunya, salah satunya batu asal Papua yang dijual
seharga Rp 250 juta.
Pemilik batu, Said Marsalin mengatakan batu
ratusan juta itu bernama Badar Emas. Batu itu
berukuran sebesar kepalan tangan dengan berat Rp
1,5 kg.
"Ini Badar Emas, harganya Rp 250 juta," ucap Said
sambil menunjukkan batu berwarna hitam itu, Sabtu
(18/4/2015) malam.
Mahalnya harga batu tersebut karena mengandung
campuran logam emas. Said bahkan menunjukkan
kilauan emas yang terlihat bergaris-garis dari batu
tersebut. Dia mengambil teropong kecil khusus
mengeker batu untuk melihat lebih jelas kilauan
emas tersebut.
"Kelihatan kan, garis emasnya," ucap Said.
Mantan pegawai Satpol PP itu mengaku selama
pameran sudah berhasil menjual cincin batu Badar
Emas seharga Rp 26 juta. Dia mengaku berdagang
batu bisa meraup keuntungan besar. "Untungnya
lumayan," katanya.
Pameran batu itu dilakukan dalam acara Expo
Simposium dan Great Stone Nusantara 2015
bertemakan "Batu Mulia Indonesia antara Budaya
dan Bisnis dalam Menembus Pasar Global" yang
digelar dalam rangka Peringatan 60 Tahun KAA di
Museum Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah.
Di lokasi pameran ada sekitar 20 stand penjual
beragam jenis batu akik mulai dari batu panca
warna, giok Aceh, black opal dan batu kalimaya.
Harga batu Akik dalam pameran yang berlangsung
dari tanggal 15-21 April ini berkisar mulai Rp 30 ribu
hingga yang paling mahal Rp 250 juta.

Kandungan Uranium di Timika

Sedikit catatan tentag Freeport, suatu Korporasi
yang hampir bangkrut yang sekarang menjelma
menjadi Perusaaan tambang terbesar didunia
namun di tutup tutupi agar tidak mencolok !!!
Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran
Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak
tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung
selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan
ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak
keuntungan finansial yang sangat besar bagi
perusahaan asing tersebut, namun belum
memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua,
dan masyarakat lokal di sekitar wilayah
pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk
keuntungan dari tambang emas, perak, dan
tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport
terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan
keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali
lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua.
Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan
kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah
Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi
stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
Suatu berita mengejutkan soal PT Freeport
Indonesia (FI). Kabarnya perusahaan tambang
raksasa itu, dilaporkan secara diam-diam
memproduksi serta mengekspor zat kimia
mematikan dan paling dicari dunia barat, yakni
uranium yang merupakan bahan dasar reaktor
nuklir dan senjata nuklir dalam kurun waktu delapan
bulan terakir ini.
Tindakan PT. Freeport Indonesia (FI) yang telah
melenceng jauh dari kontrak karyanya ini, bukan
merupakan hal yang baru, pasalnya perusahaan
raksasa ini hanya diketahui menambang tembaga,
sedangkan emas, batu bara dan bahan tambang
non migas lainnya baru diketahui publik pada tahun
1990-an.
Nah kali ini, yang sudah beroperasi di Papua sejak
tahun 1964 ini kembali mengulang sejarah dengan
melakukan penambangan Uranium tanpa
sepengetahuan Pemerintah, dan publik Papua. Hal
ini membuat DPRP naik pitam, pasalnya dari hasil
tambang yang dikeruk perusahaan raksasa dunia
itu, pemerintah dan rakyat Papua hanya kebagian
Rp30 miliar.
“Ini namanya pencuri, PT Freeport sudah lakukan
pencurian, karena diam-diam memproduksi
Uranium yang tidak ada dalam kontrak kerja,” tegas
Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua, Yan
Mandenas diruang kerjanya, selasa (13/7) kemarin.
Ketua umum DPD Hanura Papua ini mengatakan,
aktifitas penambangan Uranium yang dilakukan PT
FI ini sudah berlangsung selama delapan bulan, dan
dari informasi yang berhasil diperoleh DPRP,
aktifitas penambangan Uranium ini dilakukan
sembunyi-sembunyi.
“Informasi soal penambangan ini terus kami ikuti,
kami punya banyak informan ada dari dalam PT FI
sendiri, Pemerintah Kabupaten, LSM dan
masyarakat,” ungkap Mandenas.
Menyinggung, tindakan DPRP terhadap
penambangan liar tersebut, Yan mengatakan,
walaupun PT FI berada di wilayah pemerintah
Provinsi Papua, namun Pemerintah Provinsi dan
DPRP tidak bisa mengambil tindakan yang legal
terhadap perusahaan raksasa tersebut.
“Kalau untuk PT Freeport ini birokrasinya terlalu
panjang dan berbelit-belit, kami susah masuk ke
sana, kan semua mineral tambang itu dikirim lewat
pipa-pipa, siapa yang tahu, tidak adakan, apalagi
akses kesana tidak gampang,” ujarnya.
Namun, sambung Yan, DPRP tidak hilang akal,
tinjauan ke lokasi penambangan akan tetap
dilakukan sambil menunggu pengurusan birokrasi
untuk meninjau lokasi penambangan perusahan
tersebut.
Sekedar diketahui
Amerika ingin menguasai teknologi pengayaan
uranium. Pengayaan Uranium dibutuhkan untuk
Negara yang banyak mempunyai PLTN, sehingga
pasokan bahan baku PLTN tidak tergantung Negara
lain.
Jadi ada dua fungsi pengayaan uranium tujuan
damai untuk bahan bakar PLTN dan tujuan
pembuatan Bom Nuklir, bisa dianalisa dengan
sederhana kemana hasil uranium PT FI di bawa.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral membantah PT. Freeport Indonesia
melakukan penambangan biji uranium di areal
penambangan di pegunungan Grasberg, Papua
seperti dituduhkan oleh anggota DPRD propinsi
tersebut.
"Menurut saya (tuduhan) itu tidak benar, karena
batuan yang ada di lokasi tambang Freeport bukan
pembawa uranium," ujar Dirjen Mineral dan Batu
Bara, Departemen Energi saat dihubungi VIVAnews
di Jakarta, Kamis, 15 Juli 2010.
Dia mengingatkan sudah banyak sekali dilakukan
penelitian di areal penambangan yang berlokasi di
Kabupaten Mimika, Papua tersebut. "Kalau ada
uranium, tentunya sudah diketahui sejak dahulu.
Masalah teknis seperti ini gampang sekali dilacak
kebenarannya."
Namun, Bambang menekankan agar tuduhan
tersebut dikonformasikan kembali kepada yang
menyebarkan isu tersebut.
Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat yang
membidangi Energi dan Sumber Daya Mineral
berencana meminta klarifikasi PT Freeport
Indonesia soal tuduhan menambang uranium.
Pemanggilan dilakukan jika perusahaan
pertambangan asal Amerika Serikat tersebut benar-
benar dilaporkan melakukan penambangan uranium
secara ilegal di Papua.
PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan
pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan
ini adalah pembayar pajak terbesar kepada
Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil
emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg.
Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di
dua tempat di Papua, masing-masing tambang
Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak
1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten
Mimika, Provinsi Papua.
Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan
penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport,
keberadaannya memberikan manfaat langsung dan
tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar
dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama
dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga
emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun
terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport
diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar
1 miliar dolar.
Mining International , sebuah majalah perdagangan,
menyebut tambang emas Freeport sebagai yang ter­
besar di dunia.
Bahan tambang yang dihasilkan adalah : Tembaga,
Emas, Silver, Molybdenum dan Rhenium. Namun
selama ini hasil bahan yang di tambang tidak lah
jelas karena hasil tambang tersebut di kapal kan ke
luar Indonesia untuk di murnikan sedangkan
molybdenum dan rhenium adalah merupakan
sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih
tembaga.

Gunung Emas di Timika

Lisa Pease menulis artikel berjudul “JFK,
Indonesia, CIA, and Freeport” dan dimuat dalam
majalah Probe. Tulisan bagus ini disimpan di
dalam National Archive di Washington DC. Dalam
artikelnya, Lisa Pease menulis jika dominasi
Freeport atas gunung emas di Papua dimulai
sejak tahun 1967, namun kiprahnya di Indonesia
sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.
Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu
awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping
ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba
tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil
menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh
Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu
dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru
saja hendak melakukan pengapalan nikel
produksi perdananya terkena imbasnya.
Ketegangan terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-
kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya
pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-
kali pula menemui kegagalan.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian,
pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang
menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur
melakukan pertemuan dengan Direktur
Pelaksana East Borneo Company, Jan van
Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita
jika dirinya menemukan sebuah laporan
penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung
Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean
Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu
sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan
tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di
Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen tertarik
dengan laporan penelitian yang sudah berdebu
itu dan membacanya.
Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita
kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika selain
memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean
Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan
alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti
wilayah lainnya di seluruh dunia, maka
kandungan biji tembaga yang ada di sekujur
Gunung Ersberg itu terhampar di atas
permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di
dalam tanah. Mendengar hal itu, Wilson sangat
antusias dan segera melakukan perjalanan ke
Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu.
Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar,
maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali
dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di
depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson
melakukan survei dengan seksama atas Gunung
Ersberg dan juga wilayah sekitarnya.
Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah
buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta
karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak
perlu menyelam lagi karena semua harta karun
itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari
udara, tanah di sekujur gunung tersebut
berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris
membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih
tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi
bijih emas dan perak! Menurut Wilson,
seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold
Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai
seorang pakar pertambangan, Wilson
memperkirakan jika Freeport akan untung besar
dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali
modal. Piminan Freeport Sulphur ini pun
bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960,
Freeport Sulphur menekan kerjasama dengan
East Borneo Company untuk mengeksplorasi
gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami
kenyataan yang hampir sama dengan yang
pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi
politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam.
Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas
dan Soekarno malah mulai menerjunkan
pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada
Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar
mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK
malah sepertinya mendukung Soekarno.
Kennedy mengancam Belanda akan
menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot
mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat
itu memerlukan bantuan dana segar untuk
membangun kembali negerinya dari puing-puing
kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa
mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika
Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung
banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja
Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka
nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari
AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas
yang ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari
Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama
dengan East Borneo Company mentah kembali.
Para pimpinan Freeport jelas marah besar.
Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan
paket bantuan ekonomi kepada Indonesia
sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan
Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!
Segalanya berubah seratus delapan puluh
derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak
pada 22 November 1963. Banyak kalangan
menyatakan penembakan Kenndey merupakan
sebuah konspirasi besar menyangkut
kepentingan kaum Globalis yang hendak
mempertahankan hegemoninya atas kebijakan
politik di Amerika.
Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy
mengambil siap yang bertolak-belakang dengan
pendahulunya. Johnson malah mengurangi
bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali
kepada militernya. Salah seorang tokoh di
belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam
kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964,
adalah Augustus C. Long, salah seorang anggota
dewan direksi Freeport.
Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan
besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan
Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang
membawahi Caltex (patungan dengan Standard
Oil of California). Soekarno pada tahun 1961
memutuskan kebijakan baru kontrak
perminyakan yang mengharuskan 60 persen
labanya diserahkan kepada pemerintah
Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga
operator perminyakan di Indonesia jelas sangat
terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus C. Long amat marah terhadap
Soekarno dan amat berkepentingan agar orang
ini disingkirkan secepatnya.
Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C.
Long juga aktif di Presbysterian Hospital NY di
mana dia pernah dua kali menjadi presidennya
(1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi
jika tempat ini merupakan salah satu simpul
pertemuan tokoh CIA.
Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat
kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai
1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan
Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam
masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai
masa yang paling krusial.
Pease mendapakan data jika pada Maret 1965,
Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur
Chemical Bank, salah satu perusahaan
Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat
menjadi anggota dewan penasehat intelijen
kepresidenan AS untuk masalah luar negeri.
Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk
menentukan operasi rahasia AS di negara-
negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh
yang merancang kudeta terhadap Soekarno,
yang dilakukan AS dengan menggerakkan
sejumlah perwira Angkatan Darat yang
disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia
Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang
menyatakan jika kelompok Jenderal Suharto
akan mendesak angkatan darat agar
mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu
Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA
Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu
benar adanya.
Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi
1 Oktober 1965, Forbes Wilson mendapat telpon
dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne
Williams, yang menanyakan apakah Freeport
sudah siap mengeksplorasi gunung emas di Irian
Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno
masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan
hingga 1967, lalu darimana Williams yakin
gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan
Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para
petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai
kontak tokoh penting di dalam lingkaran elit
Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan
dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius
Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai
penghubung antara Ibnu Soetowo dengan
Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat
berpengaruh di dalam angkatan darat karena
dialah yang menutup seluruh anggaran
operasionil mereka.
Sebab itulah, ketika ketika UU No. 1/1967
tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang
draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang
didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967,
maka perusahaan asing pertama yang
kontraknya ditandatangani Suharto adalah
Freeport. Inilah kali pertama kontrak
perminyakan yang baru dibuat. Jika di zaman
Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan
asing selalu menguntungkan Indonesia, maka
sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti
itu malah banyak merugikan Indonesia.
Untuk membangun konstruksi pertambangan
emasnya itu, Freeport menggandeng Bechtel,
perusahaan AS yang banyak mempekerjakan
pentolan CIA. Direktur CIA John McCone
memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan
Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai
konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran
milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan
raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar
dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang
eksekutif Freeport-McMoran, George A. Maley,
menulis sebuah buku berjudul “Grasberg”
setebal 384 halaman dan memaparkan jika
tambang emas di Irian Barat itu memiliki depost
terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih
tembaganya menempati urutan ketiga terbesar.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan
jika di areal ini tersimpan cadangan bijih
tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan emas
sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar
dollar AS dan masih akan menguntungkan 45
tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga
juga menulis jika biaya produksi tambang emas
dan tembaga terbesar dunia yang ada di Irian
Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya
menyesatkan dan salah. Seharusnya Emaspura.
Karena gunung tersebut memang gunung emas,
walau juga mengandung tembaga. Karena
kandungan emas dan tembaga terserak di
permukaan tanah, maka Freeport tinggal
memungutinya dan kemudian baru menggalinya
dengan sangat mudah. Freeport sama sekali
tidak mau kehilangan emasnya itu dan
membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari
Grasberg-Tembagapura sepanjang 100
kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru di
mana telah menunggu kapal-kapal besar yang
akan langsung mengangkut emas dan tembaga
itu ke Amerika. “Perampokan legal” ini masih
terjadi sampai sekarang.
Kisah Freeport merupakan salah satu dari
banyak sekali kisah sedih tentang bagaimana
kekayaan alam yang diberikan Allah SWT
kepada bangsa Indonesia, oleh para
penguasanya malah digadaikan bulat-bulat untuk
dirampok imperialisme asing, demi memperkaya
diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri.
Kenyataan memilukan ini masih berlangsung
sampai sekarang hingga rakyat menjadi sadar
dan menumbangkan penguasa korup.