Gunung Emas di Timika

Lisa Pease menulis artikel berjudul “JFK,
Indonesia, CIA, and Freeport” dan dimuat dalam
majalah Probe. Tulisan bagus ini disimpan di
dalam National Archive di Washington DC. Dalam
artikelnya, Lisa Pease menulis jika dominasi
Freeport atas gunung emas di Papua dimulai
sejak tahun 1967, namun kiprahnya di Indonesia
sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.
Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu
awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping
ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba
tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil
menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh
Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu
dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru
saja hendak melakukan pengapalan nikel
produksi perdananya terkena imbasnya.
Ketegangan terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-
kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya
pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-
kali pula menemui kegagalan.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian,
pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang
menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur
melakukan pertemuan dengan Direktur
Pelaksana East Borneo Company, Jan van
Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita
jika dirinya menemukan sebuah laporan
penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung
Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean
Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu
sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan
tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di
Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen tertarik
dengan laporan penelitian yang sudah berdebu
itu dan membacanya.
Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita
kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika selain
memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean
Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan
alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti
wilayah lainnya di seluruh dunia, maka
kandungan biji tembaga yang ada di sekujur
Gunung Ersberg itu terhampar di atas
permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di
dalam tanah. Mendengar hal itu, Wilson sangat
antusias dan segera melakukan perjalanan ke
Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu.
Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar,
maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali
dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di
depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson
melakukan survei dengan seksama atas Gunung
Ersberg dan juga wilayah sekitarnya.
Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah
buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta
karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak
perlu menyelam lagi karena semua harta karun
itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari
udara, tanah di sekujur gunung tersebut
berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris
membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih
tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi
bijih emas dan perak! Menurut Wilson,
seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold
Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai
seorang pakar pertambangan, Wilson
memperkirakan jika Freeport akan untung besar
dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali
modal. Piminan Freeport Sulphur ini pun
bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960,
Freeport Sulphur menekan kerjasama dengan
East Borneo Company untuk mengeksplorasi
gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami
kenyataan yang hampir sama dengan yang
pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi
politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam.
Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas
dan Soekarno malah mulai menerjunkan
pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada
Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar
mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK
malah sepertinya mendukung Soekarno.
Kennedy mengancam Belanda akan
menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot
mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat
itu memerlukan bantuan dana segar untuk
membangun kembali negerinya dari puing-puing
kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa
mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika
Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung
banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja
Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka
nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari
AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas
yang ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari
Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama
dengan East Borneo Company mentah kembali.
Para pimpinan Freeport jelas marah besar.
Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan
paket bantuan ekonomi kepada Indonesia
sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan
Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!
Segalanya berubah seratus delapan puluh
derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak
pada 22 November 1963. Banyak kalangan
menyatakan penembakan Kenndey merupakan
sebuah konspirasi besar menyangkut
kepentingan kaum Globalis yang hendak
mempertahankan hegemoninya atas kebijakan
politik di Amerika.
Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy
mengambil siap yang bertolak-belakang dengan
pendahulunya. Johnson malah mengurangi
bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali
kepada militernya. Salah seorang tokoh di
belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam
kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964,
adalah Augustus C. Long, salah seorang anggota
dewan direksi Freeport.
Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan
besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan
Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang
membawahi Caltex (patungan dengan Standard
Oil of California). Soekarno pada tahun 1961
memutuskan kebijakan baru kontrak
perminyakan yang mengharuskan 60 persen
labanya diserahkan kepada pemerintah
Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga
operator perminyakan di Indonesia jelas sangat
terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus C. Long amat marah terhadap
Soekarno dan amat berkepentingan agar orang
ini disingkirkan secepatnya.
Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C.
Long juga aktif di Presbysterian Hospital NY di
mana dia pernah dua kali menjadi presidennya
(1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi
jika tempat ini merupakan salah satu simpul
pertemuan tokoh CIA.
Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat
kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai
1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan
Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam
masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai
masa yang paling krusial.
Pease mendapakan data jika pada Maret 1965,
Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur
Chemical Bank, salah satu perusahaan
Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat
menjadi anggota dewan penasehat intelijen
kepresidenan AS untuk masalah luar negeri.
Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk
menentukan operasi rahasia AS di negara-
negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh
yang merancang kudeta terhadap Soekarno,
yang dilakukan AS dengan menggerakkan
sejumlah perwira Angkatan Darat yang
disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia
Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang
menyatakan jika kelompok Jenderal Suharto
akan mendesak angkatan darat agar
mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu
Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA
Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu
benar adanya.
Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi
1 Oktober 1965, Forbes Wilson mendapat telpon
dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne
Williams, yang menanyakan apakah Freeport
sudah siap mengeksplorasi gunung emas di Irian
Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno
masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan
hingga 1967, lalu darimana Williams yakin
gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan
Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para
petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai
kontak tokoh penting di dalam lingkaran elit
Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan
dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius
Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai
penghubung antara Ibnu Soetowo dengan
Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat
berpengaruh di dalam angkatan darat karena
dialah yang menutup seluruh anggaran
operasionil mereka.
Sebab itulah, ketika ketika UU No. 1/1967
tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang
draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang
didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967,
maka perusahaan asing pertama yang
kontraknya ditandatangani Suharto adalah
Freeport. Inilah kali pertama kontrak
perminyakan yang baru dibuat. Jika di zaman
Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan
asing selalu menguntungkan Indonesia, maka
sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti
itu malah banyak merugikan Indonesia.
Untuk membangun konstruksi pertambangan
emasnya itu, Freeport menggandeng Bechtel,
perusahaan AS yang banyak mempekerjakan
pentolan CIA. Direktur CIA John McCone
memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan
Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai
konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran
milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan
raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar
dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang
eksekutif Freeport-McMoran, George A. Maley,
menulis sebuah buku berjudul “Grasberg”
setebal 384 halaman dan memaparkan jika
tambang emas di Irian Barat itu memiliki depost
terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih
tembaganya menempati urutan ketiga terbesar.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan
jika di areal ini tersimpan cadangan bijih
tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan emas
sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar
dollar AS dan masih akan menguntungkan 45
tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga
juga menulis jika biaya produksi tambang emas
dan tembaga terbesar dunia yang ada di Irian
Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya
menyesatkan dan salah. Seharusnya Emaspura.
Karena gunung tersebut memang gunung emas,
walau juga mengandung tembaga. Karena
kandungan emas dan tembaga terserak di
permukaan tanah, maka Freeport tinggal
memungutinya dan kemudian baru menggalinya
dengan sangat mudah. Freeport sama sekali
tidak mau kehilangan emasnya itu dan
membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari
Grasberg-Tembagapura sepanjang 100
kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru di
mana telah menunggu kapal-kapal besar yang
akan langsung mengangkut emas dan tembaga
itu ke Amerika. “Perampokan legal” ini masih
terjadi sampai sekarang.
Kisah Freeport merupakan salah satu dari
banyak sekali kisah sedih tentang bagaimana
kekayaan alam yang diberikan Allah SWT
kepada bangsa Indonesia, oleh para
penguasanya malah digadaikan bulat-bulat untuk
dirampok imperialisme asing, demi memperkaya
diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri.
Kenyataan memilukan ini masih berlangsung
sampai sekarang hingga rakyat menjadi sadar
dan menumbangkan penguasa korup.

No comments:

Post a Comment